TIDUR
Oleh
:Tursina Ayun Sundari
Aku
berdiri kaku menatap sebuah foto yang sering didekap ayah saat akan tidur. Aku
yakin betul orang yang ada di dalam foto tersebut sangat penting bagi ayah.
Seorang gadis kecil mengenakan sebuah gaun merah muda dengan senyum yang sangat
manis di sudut bibir mungilnya.
Ya.. potret gadis kecil yang sering membuatku merasa
cemburu itu belakangan aku ketahui adalah ibu. Sayangnya saat aku pertama kali
membuka mata, aku tidak menemui sosoknya. Tidak ada senyum kebahagiaan dari
seseorang wanita yang disebut ibu. Saat aku menangis karena merasakan atmosfer
yang berbeda, aku merasa gelisah dan takut
namun sayangnya tidak aku dengar suara ibu menenangkan aku saat itu. Menyedihkan.
Pernah suatu kali aku menanyakan keberadaan ibu kepada
ayah, tetapi ayah hanya mengatakan ibu pergi jauh. Lalu aku menanyakan apakah
ibu akan kembali menemui aku dan ayah, ayah menunjukan ekspresi datar dan tidak
memberikan jawaban apa-apa tapi aku tau jawabannya dari sorotan mata ayah ‘Ibu
tidak akan pernah kembali’ setelah itu aku hampir tidak pernah menanyakan semua
hal yang berkaitan dengan ibu.
Setiap bulan-bulan tertentu ayah selalu mengajak ku untuk
mengunjungi sebuah hutan kecil di bukit seberang sungai sana. Ayah selalu
membawa bunga kertas yang tumbuh di depan rumah dan meletakannya disebuah
gundukan tanah dengan nisan berbentuk
salib. Mungkin ini yang orang sebut kuburan. Waktu itu umurku masih 3
tahun, tapi aku bisa mengingatnya dengan jelas. Bagaimana tidak, ayah selalu
bercerita panjang lebar tentang kehidupannya sehari-hari tidak ketinggalan juga
tentangku di depan gundukan tanah itu. Pernah diam-diam aku perhatikan, ada
sebutir air bening yang keluar dari pelupuk mata ayah. Ayah menangis.
Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 7. Tidak ada
pesta yang meriah, tidak ada kue ulang tahun, dan juga tidak ada ucapan selamat
ulang tahun. Aku sudah terbiasa. Hari kelahiranku menjadi hari yang berbahagian
sekaligus hari berkabung bagi ayahku. Karena pada hari kelahirankulah ibu
menghembuskan nafasnya yang terakhir untuk kembali menghadap sang pencipta.
Kata ayahku Tuhan terlalu sayang pada ibu. Ayahku belum bisa melupakan ibu, semua orang tau itu. Syukurnya ayah tidak
pernah menyalahkan ku atas kematian ibu. Ayah menggangap itu sudah menjadi
takdir Tuhan.
Malam itu aku tidak bisa tidur, setelah ayam berkokok aku
baru merasa mengantuk bahkan sangat mengantuk. Aku merebahkan tubuhku di tempat
tidur yang sederhana. Kutarik selimut sampai sebatas leher kemudian aku memejamkan
mata. Tidak berapa lama antara sadar dan tidak, aku mendengar suara wanita yang
sedang tertawa, riang sekali kedengarannya. Aku penasaran. Suara siapa itu?
Perlahan ku buka mataku dan aku berada di sebuah padang rumput hijau yang
sangat luas. Aneh. Kemudian ku langkahkan kaki ku untuk mencari asal suara tawa
tadi. Rumput lembut yang berembu mulai
membelai kakiku yang telanjang tanpa alas saat kuinjak. Aku harap tidak ada
ular atau pun kalajengking bersembunyi diantara rerumputan tersebut.
Dari kejauhan tampak seorang wanita muda tengah bersenda
gurau dengan seorang anak lelaki kecil seumuran aku. Mereka berdua berlari
mengejar kupu-kupu yang tampak juga sedang bergerombolan. Sepertinya mereka
tidak merasakan kehadiranku. Aku mendekat perlahan sambil menundukan kepalaku.
Aku terus memperhatikan tiap langkah kakiku. Aku takut kehadiranku mengusik
kesenangan mereka.
Wanita muda tersebut akhirnya menyadari akan kehadiranku.
Ia menoleh dan bertanya “apa yang sedang kau lakukan disini? kamu sendirian”?
lanjutnya. Anak laki-laki yang semejak tadi berlari-lari juga berhenti dan
kemudian berjalan mendekati wanita tersebut. Dia berdiri di samping wanita
tersebut sambil memegang tangan kanan wanita tersebut. “dia siapa bunda? dia
mirip seperti ku?”. Tanya anak ini dengan keheranan sambil terus menatapku. Aku
merasa kaku. Canggung.
Aku masih menunduk. Aku tidak berani menatap wajah mereka.
Wanita itu kemudian berjalan mendekati ku dengan anak laki-laki yang masih
terus memegang erat tangannya. Ia memegang wajahku dan seketika ia terperanjat
karena dilihatnya wajahku memang mirip sekali dengan wajah anak laki-laki
disampingnya. Aku juga baru menyadarinya. “Siapa kamu?” Tanyanya menyelidiki. “Aku
asep dan aku tidak tau apa yang aku lakukan disini”. Jawabku pelan dan hampir
tidak terdengar. Desiran angin perlahan
bertiup menerbangkan bunga rumput-rumput yang terpaksa lepas dari tangkainya.
Angin terlalu memaksa.
Kami bertiga berdiri dalam kesunyian dengan pikiran
masing-masing. Tanpa ku duga anak laki-laki tersebut berkata kepada wanita itu
“bunda, bolehkan kita mengajaknya untuk bermain bersama”? pintanya. Wanita yang
dipanggil bunda mengangguk pelan. Anak laki-laki itu kemudian menarik tanganku
“ayo kita menangkap kupu-kupu, oh iya.. namaku kiki”. Aku hanya mengangguk
mengiyakan.
Kami berdua berlari kian kemari mengejar kupu-kupu, tidak
ku rasa panas dikulitku terkena sengat cahaya matahari padahal cuaca siang itu
sangat panas kelihatannya. Wanita muda tadi terlihat duduk tersenyum sambil
memperhatikan aku dan kiki berlarian kesana kemari. Aku tidak begitu
memperdulikannya. Hatiku sangat riang sekali. Belum pernah kurasakan hati
sebahagia ini.
Aku melihat seekor kupu-kupu cantik dengan warna yang
sangat indah. Aku berusaha menangkapnya. Aku meloncat-loncat berusaha menggapai
kupu-kupu yang terkadang terbang rendah tetapi saat akan ku tangkap kupu-kupu
itu terbang meninggi. Susah sekali rasanya. Kepalaku terus menegadah keatas
hingga kakiku tersandung dan aku pun jatuh terjerembab ke tanah. Aku meringis
kesakitan, kaki ku sedikit memar. Aku kemudian melihat benda apa gerangan yang
telah membuatku tersandung. Ternyata itu adalah sebuah gundukan tanah yang
sudah ditumbuhi rumput-rumput liar, persis seperti gundukan tanah yang sering
aku dan ayah kunjungi... itu adalah kuburan. Aku berusaha untuk berdiri
kemudian mengibaskan tangan membersihkan tanah yang menempel dicelana ku.
Aku
melihat sekeliling mencari-cari kiki dan bundanya tetapi aku tidak
menemukannya. Aku hanya melihat hamparan rumput hujau tadi telah berubah menjadi
kuburan-kuburan tak terurus. Semak belukar tumbuh sesukanya. Aku masih tidak
percaya, aku memanggil-manggil nama kiki dan juga bundanya tapi sungguh
mengecewakan aku tidak mendengar jawaban apapun, yang terdengar hanya pantulan
suaraku sendiri. Sunyi sekali. Aku nyaris menangis karena kelelahan. Aku
kemudian duduk di bawah pohon akasia sambil berusaha mengumpulkan tenaga.
Aku menatap awan putih yang bergerak tertiup angin.
Dikejauhan sayup-sayup terdengar suara burung elang yang sedang terbang
membumbung tinggi di udara. Suaranya semakin jelas terdengar. Perlahan aku
mencoba mencari sosoknya tetapi aku terperanjat saat melihat sesuatu yang
bertubuh seperti burung elang dengan wajahnya yang menyerupai manusia. Ia
memiliki paruh yang kuat dan cakar yang tajam. Aku membayangkan jika elang
tersebut mencabik-cabik setiap bagian tubuhku. Hiii... aku bergidik ngeri. Aku
merapatkan tubuhku kepohon, semakin rapat dengan peluh yang mulai membasahi
bajuku.
“Hei,, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menghalangi pintu rumahku?”
Aku nyaris pingsan. Bagaimana tidak suara itu terdengar
begitu dekat. Tubuhku kaku. Mulutku terkunci rapat. “Ada apalagi ini?” pikirku.
“Heii.. bisakah kau segera menyingkir dari depan pintuku?”
kembali terdengar suara yang lebih keras dari sebelumnya. Suara yang menunjukan
ketidak sabaran. Aku membalikan tubuhku melihat ke arah pohon akasia itu. Ohh..
ternyata ada sebuah pintu mungil di situ. Tiba-tiba pintunya berderit dan
terbuka. Aku segera mundur ke belakang menjauhi pohon. Tidak lama kemudian
muncul seekor tupai dengan mengendap-endap. Matanya liar mengawasi sekitarnya.
Pandangan matanya bertabrakan dengan mataku. Tupai itu terbelalak, dengan
spontan tupai itu masuk kembali ke dalam pohon mencoba untuk menutup pintunya
tetapi pintunya macet. Tupai itu menjadi panik dan melemparkan apa saja yang
terdapat di dalam rumahnya ke arahku. Aku mencoba menahannya dengan tanganku.
“Siapa kamu? Apakah
kau kesini untuk menangkapku?” tanyanya dengan ketakutan. “Pergilah menjauh
sebelum aku membunuhmu?” ancamnya.
“Maaf tupai aku tidak berniat untuk menangkapmu,” jawabku
pelan. Aku tersesat dan aku tidak tau aku sedang berada di mana sekarang ini”.
Lanjutku dengan nada putus asa. Perlahan tupai tadi keluar dari dalam rumah
pohonnya. Ia melihatku masih takut-takut.
“Jadi
kau tersesat?”
Aku mengangguk.
“Siapa namamu?”
“Namaku asep.” Jawabku datar. Tupai tersebut kemudian
memberanikan diri mendekati. Mengendus-gendus dari ujung kaki hingga ujung
rambut yang membuatku agak risih.
“Berhentilah seperti itu, kau terlalu mencurigaiku!” Kataku
sedikit kesal. Tupai itu kemudian berhenti. Ia duduk menghadapku. Matanya
bulat, kumisnya bergerak-gerak, bulunya yang kecoklatan membuatnya tampak
menggemaskan. Ia kemudian bertopang dagu sehingga membuatku merasa gatal ingin
meraih tubuhnya kepangkuanku.
“Tupai kecil.. bolehkah aku memangku mu sambil mengelus
bulu mu.” Pintaku.
“Boleh saja asal kau tidak macam-macam denganku.” Jawabnya
sinis.
“Aku tidak akan mencelakakan mu tupai, ayo sini.” Kataku
sambil meraih tubuhnya dan meletakannya di pangkuanku. Tupai itu menurut. Aku
meletakannya dengan perlahan. Bulunya sangat lembut, nafasnya teratur, tubuhnya
hangat. Aku jadi teringat pada kucing peliharaan ayah yang selalu aku bawa ke
mana saja aku pergi. Ayah tidak pernah memarahiku saat aku meminta untuk
membawa timus, begitulah aku dan ayah menamai kucing itu untuk tidur bersamaku.
Hari semakin gelap. Pikiranku masih berkelana jauh sekali
sebagai musafir sedangkan tubuhku hanya sekedar untuk bergerak saja enggan
sekali. Wajar saja, aku sejak tadi pagi belum memakan sesuatu apa pun. Perutku
berbunyi riuh sekali, sepertinya cacing-cacing yang berdiam di tubuhku mulai
menuntut jatah nutrisi hari ini. Aku mengabaikannya karena aku juga tidak tau
harus memakan apa karena tidak ku lihat sesuatu yang bisa dimakan disekitarku.
Bintang-bintang mulai bermunculan. Bulan mulai memancarkan
cahayanya dari balik awan hitam dengan malu-malu.terkadang awan hitam
menutupinya tetapi angin kemudian meniup awan yang tidak bosan-bosannya
menggoda. Akrab sekali mereka. Aku membaringkan tubuhku direrumputan, aku
menggunakan tangan kiri sebagai bantal sedangkan tangan kananku masih mengelus
tubuh tupai yang sepertinya terbuai oleh elusan tanganku sehingga membuatnya
tertidur pulas.
Malam itu bunyi jangkrik merdu sekali dengan sesekali
ditingkahi lolongan anjing hutan dan suara burung hantu. Aku merasa tidak
begitu takut, entahlah mungkin karena aku sudah lelah merasakan ketakutan
sepanjang hari ini. Sementara itu aku teringat akan ayah di rumah. Mungkinkah
beliau kebingungan mencari ku? Aku merasa bersalah. Aku berusaha mengingat
wajahnya yang sudah tua, kerutan garis senyuman diwajahnya, uban dikepalanya.
Ah dadaku sesak,aku merindukannya. Aku rindu digendong dipunggungnya. Aku rindu
suaranya saat mendongeng untuk ku. Aku rindu candaanya. Aku sangat-sangat
merindukannya. Sudah tak dapat ku tahan lagi genangan air dipelupuk mataku
sedari tadi. Air yang kemudian mengalir membelah pipiku dan membentuk 2 buah
anak sungai.
Aku menangis sesengukan. Mataku sembab. Aku kemudian
tertidur dibuai malam yang semakin dingin.
Pagi-pagi sekali aku terbangun oleh tetesan embun yang
membasahi daun-daun pohon akasia tempatku tertidur semalam dan juga rerumputan
disekitarku berbaring. Aku terheran melihat daun-daun kering yang disusun rapi
membentuk sebuah selimut menutupi tubuhku. Aku bangkit kemudian mencari-cari
tupai yang semalam masih bersama ku. ” Mungkin tupai ini yang telah menyelimutiku
dengan dedaunan ini semalam,”gumamku. Kemudian ku langkahkan kakiku dengan
gontai menuju sungai kecil agak jauh dari padang rumput tadi. Sungai kecil
dengan bebatuan didasarnya. Ikan-ikan kecil tampak berenang kesana kemari
mereka sepertinya tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran ku. Kubasuh
wajahku kemudian aku meminum air dengan menggunakan tangan sebagai wadah untuk
menggangkat air kemulutku. Segar sekali. Kemudian kulihat jalan setapak yang
tampak familiar. “sepertinya aku tau jalan ini.” Gumamku.
Matahari terbenam perlahan dengan meninggalkan seberkas
cahaya kemerahan di langit. Seorang lelaki tampak duduk termenung dengan
sebatang rokok ditangan kanannya. Asap rokok menyebar mengikuti tiupan angin.
Sesekali lelaki itu terbatuk oleh asap rokoknya sendiri. Malam semakin gelap,
ini adalah hari ke-1000 semejak anak semata wayangnya tidak bangun-bangun dari
tidurnya pada malam itu. Anaknya tidak bisa bangun dan terus tidur. Irama
jantungnya normal, tidak ada yang salah pada kondisi fisiknya. Lalu kenapa dia
tidak bangun? Itulah yang membebani pikirannya saat ini.
Setelah malam semakin larut lelaki itu pun bangkit dari
tempat duduknya kemudian berjalan perlahan menuju kamar anaknya. Kamar berwarna
biru. Dia masuk mendapati anaknya masih tertidur tenang. Dirapikannya selimut
anaknya, dan tidak lupa ia untuk bercerita dan mendongeng seperti biasanya. Sesekali
diusapnya wajah anaknya dan diciumnya kening anaknya saat ia akan tidur.
“Cepat
bangun nak, ayah rindu mendengar ocehanmu. Ayah berjanji akan mengajakmu untuk
pergi memancing jika kamu bangun nanti. Ayah juga akan memasakan makanan kesukaan
mu. Bangunlah!” Bisiknya tertahan. Tak dapat ditutupinya raut kesedihan yang
tergambar jelas diwajahnya. Ia lalu merebahkan tubuhnya yang renta disamping
anaknya. Perlahan ia memejamkan matanya dan kemudian terlelap dalam buaian
mimpi yang tidak berujung bersama malam yang sunyi. Melupakan pikiran yang
membebani otaknya. Angin berhembus perlahan melewati setiap celah dinding yang
lapuk membangunkan buah hatinya yang terlalu lama tertidur.