Senin, 15 Desember 2014

SELAMAT TINGGAL KAMU YANG KU SEBUT CINTA
Oleh :  Tursina Ayun Sundari

Nyeri di balik rongga dada bukan karena mengindap penyakit berbahaya
Genangan air mata yang membasahi bola mata bukan karena debu
Semuanya karena aku memutuskan untuk menjauh dari mu
Kamu tak akan pernah mengerti alasanku
 Meskipun aku menjelaskannya berkali-kali  padamu
Sebab kamu tak akan pernah merasakannya
Posisi sulit yang kualami membuatku nyaris frustasi
Meskipun kamu sering melihatku tersenyum lantas tertawa
Itu hanya sebagian kecil cara ku agar kamu tak tau apa yang kupikirkan
Asal kamu tau, perasaanku terasa sulit
Maka ku biasakan dari sekarang untuk melupakanmu
Semua kenangan yang kita lalui anggaplah sebagai mimpi yang sempurna
Mimpi yang lenyap, bersama terbitnya sang surya
Percayalah ada seseorang yang akan bersedia berjalan dan menggenggam tanganmu di sana
Maaf, jika aku terlalu pengecut
Yang tidak berani memperjuangkan perasaanku sendiri
Mengertilah, semuanya tak semudah yang dipikirkan
Sekarang nikmatilah kebersamaan yang singkat ini
Kelak kita akan merindukan setiap detik
Dengan linangan air mata dipelupuk mata
Tangan terlipat dan doa mengalir lembut dari bibir
Rintihan hati akan terdengar memenuhi sudut hati


Yogyakarta, 1 september 2014

Rabu, 09 April 2014


TIDUR
     Oleh :Tursina Ayun Sundari



Aku berdiri kaku menatap sebuah foto yang sering didekap ayah saat akan tidur. Aku yakin betul orang yang ada di dalam foto tersebut sangat penting bagi ayah. Seorang gadis kecil mengenakan sebuah gaun merah muda dengan senyum yang sangat manis di sudut bibir mungilnya.
          Ya.. potret gadis kecil yang sering membuatku merasa cemburu itu belakangan aku ketahui adalah ibu. Sayangnya saat aku pertama kali membuka mata, aku tidak menemui sosoknya. Tidak ada senyum kebahagiaan dari seseorang wanita yang disebut ibu. Saat aku menangis karena merasakan atmosfer yang berbeda, aku merasa gelisah dan takut  namun sayangnya tidak aku dengar suara ibu menenangkan aku saat itu. Menyedihkan.
          Pernah suatu kali aku menanyakan keberadaan ibu kepada ayah, tetapi ayah hanya mengatakan ibu pergi jauh. Lalu aku menanyakan apakah ibu akan kembali menemui aku dan ayah, ayah menunjukan ekspresi datar dan tidak memberikan jawaban apa-apa tapi aku tau jawabannya dari sorotan mata ayah ‘Ibu tidak akan pernah kembali’ setelah itu aku hampir tidak pernah menanyakan semua hal yang berkaitan dengan ibu.
          Setiap bulan-bulan tertentu ayah selalu mengajak ku untuk mengunjungi sebuah hutan kecil di bukit seberang sungai sana. Ayah selalu membawa bunga kertas yang tumbuh di depan rumah dan meletakannya disebuah gundukan tanah dengan nisan berbentuk  salib. Mungkin ini yang orang sebut kuburan. Waktu itu umurku masih 3 tahun, tapi aku bisa mengingatnya dengan jelas. Bagaimana tidak, ayah selalu bercerita panjang lebar tentang kehidupannya sehari-hari tidak ketinggalan juga tentangku di depan gundukan tanah itu. Pernah diam-diam aku perhatikan, ada sebutir air bening yang keluar dari pelupuk mata ayah. Ayah menangis.
          Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 7. Tidak ada pesta yang meriah, tidak ada kue ulang tahun, dan juga tidak ada ucapan selamat ulang tahun. Aku sudah terbiasa. Hari kelahiranku menjadi hari yang berbahagian sekaligus hari berkabung bagi ayahku. Karena pada hari kelahirankulah ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir untuk kembali menghadap sang pencipta. Kata ayahku Tuhan terlalu sayang pada ibu. Ayahku belum bisa melupakan ibu,  semua orang tau itu. Syukurnya ayah tidak pernah menyalahkan ku atas kematian ibu. Ayah menggangap itu sudah menjadi takdir Tuhan.
          Malam itu aku tidak bisa tidur, setelah ayam berkokok aku baru merasa mengantuk bahkan sangat mengantuk. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur yang sederhana. Kutarik selimut sampai sebatas leher kemudian aku memejamkan mata. Tidak berapa lama antara sadar dan tidak, aku mendengar suara wanita yang sedang tertawa, riang sekali kedengarannya. Aku penasaran. Suara siapa itu? Perlahan ku buka mataku dan aku berada di sebuah padang rumput hijau yang sangat luas. Aneh. Kemudian ku langkahkan kaki ku untuk mencari asal suara tawa tadi.  Rumput lembut yang berembu mulai membelai kakiku yang telanjang tanpa alas saat kuinjak. Aku harap tidak ada ular atau pun kalajengking bersembunyi diantara rerumputan tersebut.
          Dari kejauhan tampak seorang wanita muda tengah bersenda gurau dengan seorang anak lelaki kecil seumuran aku. Mereka berdua berlari mengejar kupu-kupu yang tampak juga sedang bergerombolan. Sepertinya mereka tidak merasakan kehadiranku. Aku mendekat perlahan sambil menundukan kepalaku. Aku terus memperhatikan tiap langkah kakiku. Aku takut kehadiranku mengusik kesenangan mereka.
          Wanita muda tersebut akhirnya menyadari akan kehadiranku. Ia menoleh dan bertanya “apa yang sedang kau lakukan disini? kamu sendirian”? lanjutnya. Anak laki-laki yang semejak tadi berlari-lari juga berhenti dan kemudian berjalan mendekati wanita tersebut. Dia berdiri di samping wanita tersebut sambil memegang tangan kanan wanita tersebut. “dia siapa bunda? dia mirip seperti ku?”. Tanya anak ini dengan keheranan sambil terus menatapku. Aku merasa kaku. Canggung.
          Aku masih menunduk. Aku tidak berani menatap wajah mereka. Wanita itu kemudian berjalan mendekati ku dengan anak laki-laki yang masih terus memegang erat tangannya. Ia memegang wajahku dan seketika ia terperanjat karena dilihatnya wajahku memang mirip sekali dengan wajah anak laki-laki disampingnya. Aku juga baru menyadarinya. “Siapa kamu?” Tanyanya menyelidiki. “Aku asep dan aku tidak tau apa yang aku lakukan disini”. Jawabku pelan dan hampir tidak terdengar.  Desiran angin perlahan bertiup menerbangkan bunga rumput-rumput yang terpaksa lepas dari tangkainya. Angin terlalu memaksa.
          Kami bertiga berdiri dalam kesunyian dengan pikiran masing-masing. Tanpa ku duga anak laki-laki tersebut berkata kepada wanita itu “bunda, bolehkan kita mengajaknya untuk bermain bersama”? pintanya. Wanita yang dipanggil bunda mengangguk pelan. Anak laki-laki itu kemudian menarik tanganku “ayo kita menangkap kupu-kupu, oh iya.. namaku kiki”. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
          Kami berdua berlari kian kemari mengejar kupu-kupu, tidak ku rasa panas dikulitku terkena sengat cahaya matahari padahal cuaca siang itu sangat panas kelihatannya. Wanita muda tadi terlihat duduk tersenyum sambil memperhatikan aku dan kiki berlarian kesana kemari. Aku tidak begitu memperdulikannya. Hatiku sangat riang sekali. Belum pernah kurasakan hati sebahagia ini.
          Aku melihat seekor kupu-kupu cantik dengan warna yang sangat indah. Aku berusaha menangkapnya. Aku meloncat-loncat berusaha menggapai kupu-kupu yang terkadang terbang rendah tetapi saat akan ku tangkap kupu-kupu itu terbang meninggi. Susah sekali rasanya. Kepalaku terus menegadah keatas hingga kakiku tersandung dan aku pun jatuh terjerembab ke tanah. Aku meringis kesakitan, kaki ku sedikit memar. Aku kemudian melihat benda apa gerangan yang telah membuatku tersandung. Ternyata itu adalah sebuah gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rumput-rumput liar, persis seperti gundukan tanah yang sering aku dan ayah kunjungi... itu adalah kuburan. Aku berusaha untuk berdiri kemudian mengibaskan tangan membersihkan tanah yang menempel dicelana ku.
Aku melihat sekeliling mencari-cari kiki dan bundanya tetapi aku tidak menemukannya. Aku hanya melihat hamparan rumput hujau tadi telah berubah menjadi kuburan-kuburan tak terurus. Semak belukar tumbuh sesukanya. Aku masih tidak percaya, aku memanggil-manggil nama kiki dan juga bundanya tapi sungguh mengecewakan aku tidak mendengar jawaban apapun, yang terdengar hanya pantulan suaraku sendiri. Sunyi sekali. Aku nyaris menangis karena kelelahan. Aku kemudian duduk di bawah pohon akasia sambil berusaha mengumpulkan tenaga.
          Aku menatap awan putih yang bergerak tertiup angin. Dikejauhan sayup-sayup terdengar suara burung elang yang sedang terbang membumbung tinggi di udara. Suaranya semakin jelas terdengar. Perlahan aku mencoba mencari sosoknya tetapi aku terperanjat saat melihat sesuatu yang bertubuh seperti burung elang dengan wajahnya yang menyerupai manusia. Ia memiliki paruh yang kuat dan cakar yang tajam. Aku membayangkan jika elang tersebut mencabik-cabik setiap bagian tubuhku. Hiii... aku bergidik ngeri. Aku merapatkan tubuhku kepohon, semakin rapat dengan peluh yang mulai membasahi bajuku.
          “Hei,, apa yang kau lakukan? Kenapa kau  menghalangi pintu rumahku?”
          Aku nyaris pingsan. Bagaimana tidak suara itu terdengar begitu dekat. Tubuhku kaku. Mulutku terkunci rapat. “Ada apalagi ini?” pikirku.
          “Heii.. bisakah kau segera menyingkir dari depan pintuku?” kembali terdengar suara yang lebih keras dari sebelumnya. Suara yang menunjukan ketidak sabaran. Aku membalikan tubuhku melihat ke arah pohon akasia itu. Ohh.. ternyata ada sebuah pintu mungil di situ. Tiba-tiba pintunya berderit dan terbuka. Aku segera mundur ke belakang menjauhi pohon. Tidak lama kemudian muncul seekor tupai dengan mengendap-endap. Matanya liar mengawasi sekitarnya. Pandangan matanya bertabrakan dengan mataku. Tupai itu terbelalak, dengan spontan tupai itu masuk kembali ke dalam pohon mencoba untuk menutup pintunya tetapi pintunya macet. Tupai itu menjadi panik dan melemparkan apa saja yang terdapat di dalam rumahnya ke arahku. Aku mencoba menahannya dengan tanganku.
           “Siapa kamu? Apakah kau kesini untuk menangkapku?” tanyanya dengan ketakutan. “Pergilah menjauh sebelum aku membunuhmu?” ancamnya.
          “Maaf tupai aku tidak berniat untuk menangkapmu,” jawabku pelan. Aku tersesat dan aku tidak tau aku sedang berada di mana sekarang ini”. Lanjutku dengan nada putus asa. Perlahan tupai tadi keluar dari dalam rumah pohonnya. Ia melihatku masih takut-takut.
“Jadi kau tersesat?”
          Aku mengangguk.
          “Siapa namamu?”
          “Namaku asep.” Jawabku datar. Tupai tersebut kemudian memberanikan diri mendekati. Mengendus-gendus dari ujung kaki hingga ujung rambut yang membuatku agak risih.
          “Berhentilah seperti itu, kau terlalu mencurigaiku!” Kataku sedikit kesal. Tupai itu kemudian berhenti. Ia duduk menghadapku. Matanya bulat, kumisnya bergerak-gerak, bulunya yang kecoklatan membuatnya tampak menggemaskan. Ia kemudian bertopang dagu sehingga membuatku merasa gatal ingin meraih tubuhnya kepangkuanku.
          “Tupai kecil.. bolehkah aku memangku mu sambil mengelus bulu mu.”    Pintaku.
          “Boleh saja asal kau tidak macam-macam denganku.” Jawabnya sinis.
          “Aku tidak akan mencelakakan mu tupai, ayo sini.” Kataku sambil meraih tubuhnya dan meletakannya di pangkuanku. Tupai itu menurut. Aku meletakannya dengan perlahan. Bulunya sangat lembut, nafasnya teratur, tubuhnya hangat. Aku jadi teringat pada kucing peliharaan ayah yang selalu aku bawa ke mana saja aku pergi. Ayah tidak pernah memarahiku saat aku meminta untuk membawa timus, begitulah aku dan ayah menamai kucing itu untuk tidur bersamaku.
          Hari semakin gelap. Pikiranku masih berkelana jauh sekali sebagai musafir sedangkan tubuhku hanya sekedar untuk bergerak saja enggan sekali. Wajar saja, aku sejak tadi pagi belum memakan sesuatu apa pun. Perutku berbunyi riuh sekali, sepertinya cacing-cacing yang berdiam di tubuhku mulai menuntut jatah nutrisi hari ini. Aku mengabaikannya karena aku juga tidak tau harus memakan apa karena tidak ku lihat sesuatu yang bisa dimakan disekitarku.
          Bintang-bintang mulai bermunculan. Bulan mulai memancarkan cahayanya dari balik awan hitam dengan malu-malu.terkadang awan hitam menutupinya tetapi angin kemudian meniup awan yang tidak bosan-bosannya menggoda. Akrab sekali mereka. Aku membaringkan tubuhku direrumputan, aku menggunakan tangan kiri sebagai bantal sedangkan tangan kananku masih mengelus tubuh tupai yang sepertinya terbuai oleh elusan tanganku sehingga membuatnya tertidur pulas.
          Malam itu bunyi jangkrik merdu sekali dengan sesekali ditingkahi lolongan anjing hutan dan suara burung hantu. Aku merasa tidak begitu takut, entahlah mungkin karena aku sudah lelah merasakan ketakutan sepanjang hari ini. Sementara itu aku teringat akan ayah di rumah. Mungkinkah beliau kebingungan mencari ku? Aku merasa bersalah. Aku berusaha mengingat wajahnya yang sudah tua, kerutan garis senyuman diwajahnya, uban dikepalanya. Ah dadaku sesak,aku merindukannya. Aku rindu digendong dipunggungnya. Aku rindu suaranya saat mendongeng untuk ku. Aku rindu candaanya. Aku sangat-sangat merindukannya. Sudah tak dapat ku tahan lagi genangan air dipelupuk mataku sedari tadi. Air yang kemudian mengalir membelah pipiku dan membentuk 2 buah anak sungai.
          Aku menangis sesengukan. Mataku sembab. Aku kemudian tertidur dibuai malam yang semakin dingin.
          Pagi-pagi sekali aku terbangun oleh tetesan embun yang membasahi daun-daun pohon akasia tempatku tertidur semalam dan juga rerumputan disekitarku berbaring. Aku terheran melihat daun-daun kering yang disusun rapi membentuk sebuah selimut menutupi tubuhku. Aku bangkit kemudian mencari-cari tupai yang semalam masih bersama ku. ” Mungkin tupai ini yang telah menyelimutiku dengan dedaunan ini semalam,”gumamku. Kemudian ku langkahkan kakiku dengan gontai menuju sungai kecil agak jauh dari padang rumput tadi. Sungai kecil dengan bebatuan didasarnya. Ikan-ikan kecil tampak berenang kesana kemari mereka sepertinya tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran ku. Kubasuh wajahku kemudian aku meminum air dengan menggunakan tangan sebagai wadah untuk menggangkat air kemulutku. Segar sekali. Kemudian kulihat jalan setapak yang tampak familiar. “sepertinya aku tau jalan ini.” Gumamku.
          Matahari terbenam perlahan dengan meninggalkan seberkas cahaya kemerahan di langit. Seorang lelaki tampak duduk termenung dengan sebatang rokok ditangan kanannya. Asap rokok menyebar mengikuti tiupan angin. Sesekali lelaki itu terbatuk oleh asap rokoknya sendiri. Malam semakin gelap, ini adalah hari ke-1000 semejak anak semata wayangnya tidak bangun-bangun dari tidurnya pada malam itu. Anaknya tidak bisa bangun dan terus tidur. Irama jantungnya normal, tidak ada yang salah pada kondisi fisiknya. Lalu kenapa dia tidak bangun? Itulah yang membebani pikirannya saat ini.
          Setelah malam semakin larut lelaki itu pun bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan perlahan menuju kamar anaknya. Kamar berwarna biru. Dia masuk mendapati anaknya masih tertidur tenang. Dirapikannya selimut anaknya, dan tidak lupa ia untuk bercerita dan mendongeng seperti biasanya. Sesekali diusapnya wajah anaknya dan diciumnya kening anaknya saat ia akan tidur.
                “Cepat bangun nak, ayah rindu mendengar ocehanmu. Ayah berjanji akan mengajakmu untuk pergi memancing jika kamu bangun nanti. Ayah juga akan memasakan makanan kesukaan mu. Bangunlah!” Bisiknya tertahan. Tak dapat ditutupinya raut kesedihan yang tergambar jelas diwajahnya. Ia lalu merebahkan tubuhnya yang renta disamping anaknya. Perlahan ia memejamkan matanya dan kemudian terlelap dalam buaian mimpi yang tidak berujung bersama malam yang sunyi. Melupakan pikiran yang membebani otaknya. Angin berhembus perlahan melewati setiap celah dinding yang lapuk membangunkan buah hatinya yang terlalu lama tertidur.






Kunyanyikan lagu-lagu latin
Kau nyanyikan lagu-lagu arab

Ku buka alkitab
Kau buku alquran

Ku rayakaan natal
Kau rayakan lebaran

Ku cinta kau dan kau cinta ku
Memang benar kita berbeda status
Memang benar pula kita mempunyai rasa yang sama

yogyakarta 2014



Ku tatap wajahmu
Kucari kedua bola matamu
Padahal aku tau kau sedang pejam
Ku perhatikan mulutmu
Kucari deretan gigimu
Padahal aku tau kau sedang menutup mulut
Kucari kucari kucari

yogyakarta

Senin, 24 Maret 2014


SAVE BORNEO
Oleh : Tursina Ayun Sundari


Pulauku yang malang
Isi perutmu dikeruk habis demi mengisi kantong yang bocor

Darahmu dihisap habis oleh benalu pencetak rupiah
Urat nadimu dicincang halus untuk dimakan manusia yang rakus

Bola matamu dicongkel paksa sebagai pajangan
Kau dimutilasi hanya karena selembar kertas bermaterai dengan tanda tangan di atasnya

Napasmu sesak dan kau mulai berhalusinasi
Aku tau kau sedang sekarat

Lihat! Malaikat maut sepertinya sudah tak sabar untuk memisahkan nyawa dari ragamu

Yogyakarta, 23 februari 2014

Rabu, 15 Januari 2014

Tulislah apa yang kamu lihat,
Tulislah apa yang kamu dengar,
Tulislah apa yang kamu rasakan,
Karna dengan tulisan itu akan menjadi jendela masa depanmu...